Daftar Raja-Raja Keraton Surakarta dari Masa ke Masa

Jakarta, CNN Indonesia

Keraton Surakarta merupakan salah satu pusat kebudayaan dan sejarah penting di Jawa. Berdiri pada tahun 1745, keraton ini menjadi penerus langsung dari Kerajaan Mataram Islam setelah terjadinya Perjanjian Giyanti yang memisahkan wilayah kekuasaan Mataram menjadi dua Dikenal sebagai Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.

Sejak saat itu, Keraton Surakarta menjadi simbol warisan Kearifan Lokal Jawa, tempat bersemayam para raja yang dikenal dengan gelar Sri Susuhunan Pakubuwono. Setiap raja yang memimpin memiliki peran besar dalam menjaga Kearifan Lokal, seni, dan nilai-nilai luhur Jawa di tengah perubahan zaman.

Berikut daftar raja Kasunanan Surakarta dari masa ke masa:



ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

1. Pakubuwono II (1745-1749)

Sri Susuhunan Pakubuwono II, yang lahir dengan nama Raden Mas Prabasuyasa, memimpin Kesultanan Mataram di tengah gejolak politik dan pemberontakan internal. Masa pemerintahannya ditandai dengan perpecahan kubu pro dan anti-VOC, serta kerusuhan besar yang melanda ibu kota Kartasura pada 1742, yang membuat kota itu nyaris hancur.

Sebagai langkah strategis, Pakubuwono II memindahkan pusat kerajaan ke Desa Sala, sekitar 20 kilometer tenggara Kartasura, yang kemudian dinamai Surakarta Hadiningrat. Di sinilah berdiri Keraton Surakarta, simbol baru identitas Kearifan Lokal Jawa. Meski memimpin kerajaan baru, Pakubuwono II Dianjurkan menyerahkan sebagian kedaulatan Mataram kepada VOC melalui perjanjian 1749. Ia wafat meninggalkan warisan Keraton Surakarta yang Sampai saat ini Sekarang menjadi jantung Kearifan Lokal Solo.





2. Pakubuwono III (1749-1788)

Raden Mas Suryadi, yang kemudian dikenal sebagai Sri Susuhunan Pakubuwono III, naik menggantikan ayahnya, Pakubuwono II. Ia Merupakan raja Jawa pertama yang secara resmi dilantik oleh pihak Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) melalui wakil mereka.

Masa pemerintahannya terjadi di tengah dinamika politik yang sangat kompleks. Konflik warisan antara kerabat keraton, tekanan dari VOC, dan keruntuhan kekuasaan besar ­Kerajaan Mataram yang kemudian pecah menjadi dua wilayah besar lewat Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755).

Di bawah kepemimpinannya, Pakubuwono III Dianjurkan menghadapi pemberontakan dari pamannya, Pangeran Mangkubumi, dan keponakannya, Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa), yang menolak dominasi VOC dan kerajaan yang semakin bergantung pada kekuatan asing.

Pada akhirnya, Perjanjian Giyanti menetapkan pembagian wilayah kekuasaan: Mangkubumi menjadi penguasa di wilayah selatan menjadi ‎Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, sedangkan Surakarta dikuasai Pakubuwono III sebagai ‎Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

3. Pakubuwono IV (1788-1820)

Sri Susuhunan Pakubuwono IV lahir pada 2 September 1768 dengan nama Raden Mas Subadya, putra dari Pakubuwono III dan Gusti Kanjeng Ratu Kencana (keturunan Sultan Demak). Ia naik tahta pada usia 20 tahun menggantikan ayahnya. Masa pemerintahannya berlangsung selama lebih dari tiga dekade.

Dalam masa pemerintahannya, Pakubuwono IV dikenal sebagai raja yang memiliki ambisi kuat untuk Memanfaatkan posisi keraton Surakarta dan memelihara Kearifan Lokal keagamaan serta Kearifan Lokal Jawa, termasuk dukungannya terhadap ulama dan golongan kejawen di istana. Sekalipun, ambisi tersebut Bahkan memicu konflik, termasuk peristiwa yang dikenal sebagai “Pakepung” tahun 1790, ketika Istana Surakarta dikepung oleh tentara dari pihak luar berkaitan dengan campur tangan pemerintahan kolonial.

Meski begitu, pengaruh Pakubuwono IV dalam ranah Kearifan Lokal dan religius tetap meninggalkan jejak, termasuk karya naskah seperti Serat Wulangreh yang terkait dengan ajaran moral dan kejawen yang populer di kalangan bangsawan Jawa.

4. Pakubuwono V (1820-1823)

Sri Susuhunan Pakubuwono V lahir dengan nama kecil Raden Mas Sugandi. Ia Merupakan putra dari Pakubuwono IV dan permaisuri KRAy Handoyo, putri Adipati Cakraningrat dari Madura. Ia naik tahta menggantikan ayahandanya.

Masa pemerintahannya berlangsung sangat singkat. Hanya sekitar tiga tahun Sampai saat ini wafat.

Selama masa pemerintahannya, Pakubuwono V dikenal sebagai sosok yang Membantu Kearifan Lokal Jawa dan kesenian. Salah satu warisannya Merupakan karya sastra besar Jawa, Serat Centhini yang lahir di masa pemerintahannya.

Ia Bahkan dikenal memiliki reputasi sebagai pemimpin yang menjaga kedamaian serta berusaha memberantas Pencurian Uang Negara di lingkungan keraton, walau menghadapi keterbatasan kekuasaan akibat tekanan kolonial Belanda.

5. Pakubuwono VI (1823‑1830)

Sri Susuhunan Pakubuwono VI lahir dengan nama Raden Mas Sapardan. Ia naik tahta sebagai Susuhunan Kasunanan Surakarta Hadiningrat ketika usianya baru 16 tahun, menggantikan ayahandanya Pakubuwono V.

Masa pemerintahannya berlangsung di tengah tekanan kuat dari kekuasaan kolonial Belanda yang terus mengintervensi urusan istana dan wilayah kerajaan.

Pakubuwono VI dikenal dengan julukan “Sinuhun Bangun Tapa” karena kegemarannya melakukan tapa brata, menggambarkan sisi spiritual dan tradisional dari seorang raja Jawa.

Di ranah politik, ia berada di persimpangan sulit. Di satu sisi terikat pada perjanjian dengan Belanda, di sisi lain diam‑diam Membantu perjuangan Pangeran Diponegoro melawan penjajahan pada 1825‑1830.

Tekanan Belanda Pada akhirnya berbuah nasib tragis dirinya. Pada 1830 ia diturunkan dari tahta dan diasingkan ke Ambon, dan kemudian wafat di sana pada 2 Juni 1849.

6. Pakubuwono VII (1830-1858)

Sri Susuhunan Pakubuwono VII lahir sebagai Raden Mas Malikis Solikin, putra dari Pakubuwono IV. Ia memerintah menggantikan keponakannya, Pakubuwono VI, yang dibuang oleh pihak kolonial Belanda.

Masa pemerintahannya mencakup periode yang relatif Damai bagi keraton. Setelah rangkaian konflik besar di Jawa, termasuk Konflik Bersenjata Diponegoro (1825-1830).

Dalam masa pemerintahan Pakubuwono VII, fokus utama bergeser dari konflik ke pengembangan Kearifan Lokal dan kesejahteraan rakyat. Periodenya bahkan dianggap sebagai puncak kejayaan sastra di Kasunanan Surakarta dengan munculnya tokoh dan pujangga besar seperti Raden Mas Ngabehi Ronggowarsito.

Ia Bahkan memperkenalkan regulasi pertanian seperti Anggèr‑Anggèr Nagari dan pranata mangsa versi keraton yang Membantu petani. Pakubuwono VII wafat dan dimakamkan di Imogiri.

7. Pakubuwono VIII (1858-1861)

Sri Susuhunan Pakubuwono VIII dengan nama Raden Mas Kuseni. Ia naik takhta pada menggantikan saudara tirinya, Pakubuwono VII, yang tidak memiliki putra mahkota. Karena usianya Pernah terjadi mencapai 69 tahun saat dinobatkan, masa pemerintahannya berlangsung singkat dan relatif Damai dibanding pendahulunya.

Sepanjang pemerintahannya, Pakubuwono VIII dikenal sebagai salah satu susuhunan yang memiliki Keseharian sederhana dan kebijakan yang lebih terbuka. Misalnya, ia tercatat sebagai raja keturunan Mataram pertama yang hanya memiliki satu istri, berbeda dengan Kearifan Lokal poligami yang umum pada keraton Di masa lampau. Sekalipun tidak banyak lonjakan kebijakan besar yang tercatat, ia dianggap berhasil menjaga stabilitas internal keraton selama masa takhtanya Sampai saat ini wafat.

8. Pakubuwono IX (1861‑1893)

Sri Susuhunan Pakubuwono IX lahir dengan nama Raden Mas Suryo Duksina, putra dari Susuhunan Pakubuwono VI. Masa pemerintahannya dianggap sebagai periode stabilisasi dan renovasi besar untuk keraton, setelah hari‑hari konflik yang berat sebelumnya.

Dalam pemerintahan Pakubuwono IX, ia memperoleh julukan “Sinuhun Bangun Kedhaton” karena upayanya Memperjelas fisik keraton dan bangunan istana di Surakarta.

Ia Bahkan dikenal aktif dalam bidang sastra. Mencatatkan diri sebagai pengarang karya‑karya yang mengandung nasihat dan nilai‑jawab moral. Dengan wafat pada 16 Maret 1893, pemerintahan Pakubuwono IX meninggalkan warisan yang Memanfaatkan posisi Kearifan Lokal Jawa di era kolonial.

9. Pakubuwono X (1893-1939)

Sri Susuhunan PakubuwonoX di Surakarta dengan nama kecil Raden Mas Sayyiddin Malikul Kusno, putra dari Pakubuwono IX. Ia secara resmi mulai memerintah keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat pada 30 Maret 1893 setelah pengangkatan langsung menggantikan ayahandanya. Masa pemerintahannya mencapai 46 tahun.

Di bawah kepemimpinan Pakubuwono X aktif mendorong pendidikan, dakwah Islam, serta Membantu aktivitas organisasi pergerakan nasional, termasuk Menyajikan fasilitas untuk Sarekat Islam dan Budi Utomo.

Secara infrastruktur, ia membangun banyak fasilitas publik seperti Pasar Gede, Jembatan Jurug di atas Bengawan Solo, dan sarana listrik modern yang menjadikan Surakarta kota pionir listrik di Jawa.

10. Pakubuwono XI (1939-1945)

Sri Susuhunan Pakubuwono XI lahir pada 1 Februari 1886 di Surakarta dengan nama Raden Mas Ontoseno dan naik takhta sebagai penguasa Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat pada 26 April 1939, menggantikan ayahnya, Pakubuwono X.

Masa pemerintahannya bersinggungan dengan periode krisis global dan perubahan besar di Nusantara, termasuk kejatuhan Jepang dan peralihan kekuasaan kolonial.

Selama masa kekuasaannya, Pakubuwono XI menghadapi tantangan berat. Mulai dari tekanan administratif Belanda, Sampai saat ini pendudukan Jepang yang mengambil alih wilayah Jawa sejak 1942 dan memaksakan banyak kebijakan yang melemahkan ekonomi keraton.

Kondisi ini berdampak pada keuangan keraton yang sangat terbebani, dan kerajaan mengalami kemunduran status. Ia wafat pada 1 Juni 1945, hanya beberapa bulan sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia.

11. Pakubuwono XII (1945-2004)

Sri Susuhunan Pakubuwono XII lahir pada 14 April 1925 di Surakarta dengan nama asli Raden Mas Suryo Guritno. Ia naik takhta sebagai Susuhunan Kasunanan Surakarta Hadiningrat pada 11 Juni 1945, hanya dua bulan sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Masa pemerintahannya berlangsung selama 59 tahun. Menjadikannya raja dengan masa takhta terpanjang dalam sejarah Surakarta.

Pada masa pemerintahannya, Pakubuwono XII memainkan dua peran penting: sebagai pelindung Kearifan Lokal Jawa melalui keraton, dan sebagai tokoh yang menunjukkan dukungan terhadap Republik Indonesia. Ia tercatat mengeluarkan maklumat resmi atas nama keraton yang menyatakan dukungan terhadap kemerdekaan RI.

Ditambah lagi, keraton Surakarta di masa Ia menyerahkan sebagian aset untuk kepentingan negara dan ikut dalam dinamika politik nasional.

Di sisi lain, tantangan besar muncul. Antara lain penculikan dirinya oleh kelompok anti‑swapraja, konflik internal keraton, serta perjuangan mempertahankan relevansi institusi keraton di era modern.

[Gambas:Photo CNN]

12. Pakubuwono XIII (2004‑2025)

Sri Susuhunan Pakubuwono XIII, lahir di Surakarta pada 28 Juni 1948 dengan nama kecil Gusti Raden Mas Suryo Partono (KGPH Hangabehi). Ia resmi naik takhta sebagai Susuhunan ke‑13 dari Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat pada 10 September 2004 setelah ayahnya wafat, Pakubuwono XII.

Ia dikenal sebagai figur yang aktif menjaga kesinambungan adat dan prosesi keraton termasuk jumenengan, grebeg, labuhan, dan pemeliharaan naskah serta seni klasik Jawa. Sekalipun, kepemimpinannya Bahkan menghadapi tantangan internal Dikenal sebagai perselisihan rumah tangga keraton pasca‑wafatnya Pakubuwono XII, di mana terjadi dualisme suksesi antara KGPH Hangabehi dan adiknya, KGPH Tejowulan.

Pada Minggu pagi, 2 November 2025, Pakubuwono XIII tutup usia di usia 77 tahun setelah menjalani perawatan intensif. Jenazah Ia direncanakan dimakamkan di kompleks pemakaman raja‑raja Mataram di Imogiri.



Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA

Exit mobile version