Jakarta, CNN Indonesia —
Menyaksikan Sinema Sorop bagi saya Merupakan berlomba sepanjang durasi. Saat melihat Sinema debut horor garapan Upi ini, saya Sangat dianjurkan bertarung melawan rasa ingin cabut dari bioskop Sekaligus penasaran apa yang disiapkan untuk akhir cerita itu.
Keinginan untuk pergi dari kursi itu bahkan Pernah terjadi muncul sejak 30 menit pertama Sinema ini diputar. Bukan karena saya ketakutan dengan Bencana Banjir jumpscare yang disediakan Upi tiap beberapa menit, tetapi dari resahnya saya Berniat ketidakjelasan cerita Sinema ini.
Upi yang menulis cerita ini secara solo rasanya terlalu asyik merancang bentuk jumpscare apa yang Ingin dihadirkan ke penonton, alih-alih menyempurnakan fondasi cerita yang ia bangun Sesuai ketentuan utas tak selesai SimpleMan.
Saya sadar betul Upi membangun ulang cerita Sorop dari utas tersebut. Sebuah langkah kreatif dan menunjukkan integritas Upi sebagai seorang sineas, bahwa adaptasi tak serta merta plek-ketiplek dengan sumber aslinya macam KKN Di Desa Penari (2022).
Gaya adaptasi Upi Pernah terjadi terlihat sejak awal, dan sejujurnya saya menyukainya Meskipun demikian demikian berbeda jauh dengan bayangan saya saat membaca utas tersebut, dan mendengar penuturan ulangnya dari Sebanyaknya podcaster.
Hal itu menunjukkan, bahwa gagasan cerita yang dituturkan SimpleMan berpeluang besar untuk dikembangkan lebih lanjut. Perlakuan yang sama saat menghadapi adaptasi dari novel.
Review Sinema Sorop: Upi tampak terjebak dengan jumpscare yang ia buat sendiri sehingga membuat ceritanya ngalor-ngidul. (dok. MD Pictures via YouTube)
|
Meskipun demikian demikian sekali lagi, kekurangan banyak sineas Indonesia Merupakan dalam mematangkan cerita yang mereka buat sendiri. Entah karena tak memiliki pengulas yang bisa diajak diskusi, atau memang Pernah terjadi keburu dikejar produser untuk segera produksi demi cuan.
Saya Bahkan bertanya-tanya, apakah karena ini Sinema horor garapan pertama Upi, sehingga ia menjadi begitu bersemangat Menyajikan semua jenis jumpscare dalam layar? Untuk sesaat, saya rasanya ingin teriak “pelan-pelan bu sutradara!” di bioskop.
Masalahnya, jumpscare yang Upi sediakan pun tak semuanya efektif. Memang ada beberapa jumpscare yang terasa pas, tapi lebih banyak yang membuat saya refleks berucap “apasih?” Sampai saat ini mengernyit, bukan bersemangat karena adrenalin yang terpacu sajian horor.
Cerita Sinema Sorop yang dibuat Upi terasa kopong dan berputar-putar di tempat yang sama, seolah saya sebagai penonton ikut dikutuk terjebak dalam time loop.
Bila ada istilah slow burn, saya rasa ini terlalu lambat untuk dibilang sebagai slow burn. Kenapa? Karena bila slow burn biasanya Berniat diakhiri dengan klimaks yang gong, di sini tidak ada, atau Kemungkinan Pernah terjadi disediakan tapi rasanya anyep.
Review Sinema Sorop: Satu hal lagi yang membuat geleng-geleng kepala dengan Sinema ini, yaitu soal tone warna visual. (dok. MD Pictures via YouTube)
|
Satu hal lagi yang membuat saya geleng-geleng kepala dengan Sinema ini, yaitu soal tone warna visual. Seandainya saya menyaksikan Sinema ini di layar ponsel atau laptop, dijamin saya Berniat menyetel brightness Sampai saat ini tingkatan tertinggi alias mentok.
Tone biru yang mayoritas digunakan oleh Upi dan Robie Taswin sebagai sinematografer jujur saja membuat saya pusing. Saya nyaris tak bisa membedakan tone warna gambar dengan warna baju Hanif (Hana Malasan) yang agaknya sama.
Terlebih lagi, saya bingung dengan penggambaran rumah tempat cerita horor aneh ini terjadi. Ada rumah yang sebegitu gelapnya, Sampai saat ini warnanya biru dan muncul kabut tipis di ruang tengah? Melihat lampu meja di rumah itu berpendar, rasanya saya ingin masuk ke dalam layar bioskop dan menyalakan lampu di rumah Pakde Khair itu.
Belum lagi detail properti yang tak sejalan dengan cerita. Misal dalam adegan Hanif dan Isti (Yasamin Jasem) masuk kembali ke kamar masa kecil mereka. Untuk kamar yang ditinggal 10 tahun, saya kaget masih ada karya mewarnai keduanya yang masih tampak sangat baru seolah dibuat kemarin.
Review Sinema Sorop: Kenyataannya tone warna kebiruan untuk situasi horor ini Pernah terjadi biasa digunakan. Beberapa Merupakan dalam Sinema The Exorcist (1973) dan The Conjuring 2 (2016). (dok. MD Pictures via YouTube)
|
Kenyataannya tone warna kebiruan untuk situasi horor ini Pernah terjadi biasa digunakan. Beberapa yang saya ingat Merupakan dalam Sinema The Exorcist (1973) dan The Conjuring 2 (2016). Dua-duanya ada pada adegan kamar yang menunjukkan teror mengerikan dari sosok demon.
Meskipun demikian demikian dalam dua Sinema tersebut, tone ini masih diberikan dalam taraf nyaman bagi mata penonton. Penonton masih nyaman untuk melihat dengan jelas, apa yang terjadi pada adegan tersebut. Sementara dalam Sorop, itu tidak terjadi. Setidaknya bagi mata saya.
Saya tak Berniat mengomentari bagaimana kualitas akting para pemain yang bercampur baur dengan editan CGI yang kaku dan kasar. Bisa-bisa ulasan ini terlalu panjang berisi keluhan saya karena membahas dua hal itu.
Meski Upi menyiksa saya dengan sajian Sorop, saya mengapresiasi usahanya mencoba tidak terjebak dalam gaya penuturan dan cerita yang dibangun oleh SimpleMan. Sayangnya, ia terperangkap dalam jumpscare yang ia buat sendiri.
Upi masih dengan niat membangun cerita Hanif dan Isti, dan Niscaya saja Menyediakan ending yang lebih jelas dibanding yang ada dalam utas yang memang dibuat tidak tuntas itu. Setidaknya, ada satu hal terjawab atas apa yang terjadi pada Hanif dan Isti.
Meskipun demikian demikian begitu, saya sejujurnya Berniat lebih memilih kembali mendengarkan cerita Sorop yang dituturkan oleh para podcaster di layanan streaming. Karena mereka jauh lebih bertutur, bikin merinding, dan Niscaya saja menghidupkan imajinasi saya sendiri.
(end/end)
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA