Jakarta, CNN Indonesia —
Di tengah arus Layar Lebar horor yang sesak dengan dominasi kultur tertentu, Hotel Sakura Menyediakan sajian baru yang jadi penyegar untuk penonton horor, Dikenal sebagai membangkitkan kembali kenangan Nanti akan Layar Lebar horor ala Jepang pada dekade ’90-an tapi dengan fusi kisah kelokalan.
Gagasan yang Pada dasarnya menyegarkan itu sejatinya tak bisa dibilang mudah untuk dieksekusi, alias cukup tricky. Bukan hanya karena rawan cringe, tetapi Bahkan Harus cerita yang kuat untuk bisa membuat penonton keluar bioskop dengan rasa puas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada bagian inilah Upi Avianto dan Ian Adiwibowo selaku penulis serta Krishto D Alam selaku sutradara Hotel Sakura mendapatkan tantangan serius, Dikenal sebagai bagaimana memadukan kisah horor yang terinspirasi dunia Sadako ke dalam latar kehidupan lokal masyarakat Indonesia.
Saya bisa bilang Hotel Sakura berhasil pada satu sisi, tapi Bahkan lemah pada sisi yang lain.
Upi dan Ian mampu membuat alur Layar Lebar horor yang cukup creepy dengan mengombinasikan thriller psikologis di dalamnya. Ada Sebanyaknya bagian-bagian cerita yang Pada dasarnya membuat bulu kuduk merinding manja, alih-alih cuma modal jumpscare. Bahkan saya bilang jumpscare di Hotel Sakura tak sampai bikin kaget.
Apalagi sutradara Krishto yang melanjutkan pekerjaan Rudy Soedjarwo dalam Layar Lebar ini berhasil merekam momen-momen tersebut dan membuatnya sebisa Mungkin terlihat natural. Krishto tampak paham bagaimana imaji paranoid Nanti akan penampakan dalam benak orang awam.
Hotel Sakura mengisahkan perjalanan dua kawan saat mencoba menginap di sebuah hotel kuno dan berhantu. (dok. HERS Production/Kakatua Pictures)
|
Saya suka Nanti akan kerja sama tim penulis, sutradara, serta DoP Arfian di Layar Lebar ini dalam mengemas penampakan umum, seperti momen sosok lewat, sosok dilihat dari kaca, Sampai saat ini sosok di atas lemari.
Mereka mengerjakan momen-momen penampakan yang Pada dasarnya standar tersebut dengan Trik senatural Mungkin, tanpa Harus dibuat berlebihan macam hantunya meliuk-liuk sembari mangap-mangap seperti banyak Layar Lebar horor lokal Terbaru.
Gaya penggarapan ini mengingatkan saya Nanti akan Layar Lebar horor dekade awal milenium yang sempat jadi perbincangan pada saat itu, seperti Pocong (2006) serta Pocong 2 (2006) karya Rudy Soedjarwo, dan Jelangkung (2001) karya Rizal Mantovani serta Jose Poernomo.
Dengan segala keterbatasan pembuatan Layar Lebar dan akses menyaksikan Layar Lebar kala itu, Layar Lebar-Layar Lebar tersebut terasa jadi lebih horor karena suasana yang muncul secara natural, Dikenal sebagai saat penonton menghadapi sesuatu yang tidak mereka ketahui secara Pernah terjadi Tak perlu ditanyakan lagi.
Suasana itu yang Pernah terjadi pudar pada industri horor Di waktu ini, ketika mulai didominasi oleh kultur tertentu, dan gaya cerita Sampai saat ini penampakan yang serupa. Kalau saya dedemit, saya Mungkin Nanti akan tersinggung dengan penggambaran dari manusia tersebut.
Ditambah lagi, saya cukup terkesan dengan hasil kerja keras tim tata rias dan wardrobe dari Hotel Sakura. Mereka terbilang telaten dan memperhatikan hal detail dalam menghasilkan riasan yang menakutkan untuk karakter Setsuko dan setan-setan lainnya.
|
Sekalipun yang membuat saya kagum Merupakan hasil riasan untuk adegan penemuan di kamar nomor 8. Dikombinasikan dengan sorotan kamera dan senter yang diatur oleh Krishto, bagian itu Merupakan yang paling menempel dalam ingatan saya selepas keluar dari bioskop.
Meski begitu, Hotel Sakura Bahkan meninggalkan catatan merah. Salah satu yang paling terasa Merupakan percakapan dan perjalanan cerita pada paruh pertama Layar Lebar berjalan. Tim penulis seolah cukup sulit memilih percakapan atau cerita yang bisa cocok dengan gagasan Layar Lebar ini dan mulus untuk disampaikan.
Hal itu diperparah dengan akting para pemain yang terlihat belum masuk sepenuhnya pada cerita di bagian awal. Hubungan Clara Bernadeth dengan Taskya Namya yang kaku dan ganjil di awal bahkan terasa Sampai saat ini keluar layar. Belum lagi kuliah yang diberikan Tessa Kaunang, dan kemunculan tak jelas Randy Martin dalam bagian awal Layar Lebar ini.
Beruntungnya, memasuki permasalahan Layar Lebar, Taskya dan Clara terlihat lebih cair dan mulai terkoneksi satu sama lain. Sekalipun, saya melihat Taskya lebih luwes dalam menyampaikan karakter Nida yang sayangnya tak bisa diimbangi oleh Clara sebagai Sarah. Maka, pada bagian kedua, Taskya mampu sebagai scene stealer Sekalipun Pada dasarnya pusat cerita ada pada Clara.
Ditambah lagi, saya merasa bahwa efek visual pada sosok Setsuko Pada dasarnya tidak diperlukan. Meski memang efek visualnya sedikit, tapi bagi saya itu berlebihan karena mengurangi unsur estetika dan autentiknya.
Sementara itu, duo Aktor atau Aktris senior Donny Damara dan Tio Pakusadewo bisa dibilang Merupakan nomor ketiga yang mampu Menyediakan suasana horor dalam Hotel Sakura, setelah suasana bangunan Tempat syuting, dan setan-setan kameo beserta teknik penyutradaraan.
Kehororan dua Aktor atau Aktris ini justru bukan datang dari dialog ataupun penampilan mereka, tetapi dari Trik gestur serta tatapan yang bisa berubah-ubah, dari misterius, lalu ke creepy, kemudian something strange and suspicious yang bikin orang Nanti akan jaga jarak dengan mereka.
Beruntungnya, Hotel Sakura saya anggap memiliki paruh kedua yang lebih baik dibanding awal. Yang jelas, Krishto, Upi, dan Ian tak Nanti akan bisa membuat puas semua penonton dengan proyek reinkarnasi horor Jepang dekade ’90-an ini, tapi setidaknya mereka membuat saya berharap bisa terbangun dari tidur bukan dalam sebuah loop.
(end)
[Gambas:Video CNN]
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA