Jakarta, CNN Indonesia —
Peneliti Pusat Riset Kebencanaan Geologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Nuraini Rahma Hanifa mengungkap ada Sebanyaknya pekerjaan rumah buat negara untuk menghadapi ancaman gempa besar megathrust.
Menurut Rahma persiapan dalam menghadapi gempa megathrust menjadi PR seluruh elemen negara, baik pemerintah dan masyarakat, Supaya bisa dapat meminimalisir korban terdampak.
“Secara jujur kayaknya kita masih punya banyak PR untuk Memanfaatkan kesiapan kita [dalam menghadapi gempa megathrust],” kata Rahma, mengutip Antara, Senin (2/9).
Rahma menjelaskan kepanikan menjadi salah satu Dalang tingginya korban jiwa dalam sebuah bencana alam, termasuk gempa megathrust dan potensi Gelombang Besar.
Menurutnya dalam konteks gempa bumi, kepanikan umumnya disebabkan oleh tingginya kemungkinan bangunan runtuh. Hal menyebabkan warga panik dan berlarian tak beraturan.
Rahma kemudian mencontohkan bagaimana Jepang membuat bangunan yang memiliki standar khusus. Sama seperti Indonesia, Jepang Bahkan menjadi negara yang kerap mengalami gempa bumi.
Menurut Ia Jepang memiliki standar khusus untuk bangunan yang tahan gempa. Menurutnya, tahan gempa di sini bukan berarti bangunan itu tidak Akan segera roboh, tapi bangunan itu tidak Akan segera roboh Dalam waktu singkat gempa terjadi.
“Nah kita di Indonesia Kemungkinan enggak merasa yakin dengan bangunan ataupun rumah yang kita tempati, sehingga Kemungkinan satu kita punya insecurity terhadap bangunan, yang kedua kita Bahkan panik,” ujar Ia.
Terlebih lagi, Rahma menilai masyarakat Indonesia Bahkan memiliki bayangan traumatis terhadap gempa yang pernah terjadi di Aceh pada 2004, karena gempa tersebut diiringi dengan gelombang Gelombang Besar yang mengharuskan setiap orang untuk belairan keluar rumah.
Menurut Rahma mitigasi bisa diawali dengan upaya berbasis sains, teknologi, dan inovasi seperti pembuatan rumah tahan gempa dan modernisasi sistem peringatan dini, sembari terus melakukan sosialisasi jalur evakuasi saat bencana terjadi ke masyarakat.
Tavio, peneliti Pusat Penelitian Mitigasi Kebencanaan dan Pergantian Iklim dari Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Bahkan sempat menyoroti penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) bangunan tahan gempa di dalam negeri hanya fokus pada gedung, sedangkan perumahan rakyat terabaikan.
“Kita selama ini Setiap Saat gembar-gembor mengenai SNI untuk bangunan gedung, tapi pada kenyataannya SNI untuk bangunan gedung hanya untuk sekelompok orang. Kalau kita jumlah, berapa sih yang tinggal di apartemen dan di gedung?” kata Tavio.
Tavio mengatakan jumlah orang yang tinggal di gedung lebih sedikit dibandingkan yang tinggal di perumahan rakyat. Sehingga ketika terjadi gempa dan rumahnya tidak dibangun sesuai SNI, maka Akan segera menelan banyak korban.
Belum lagi, pembangunan gedung bisa menyewa konsultan perencana yang Akan segera memperhatikan SNI. Sedangkan perumahan rakyat dibangun sendiri tanpa memperhatikan SNI. Karena itu, Tavio mengatakan masyarakat Sangat dianjurkan diedukasi soal SNI.
“Ini yang tidak bisa ditoleransi kalau dikatakan itu salahnya masyarakat sendiri. Masyarakat tidak menguasai teknologi di bidang bangunan. [Harus dicari] bagaimana Trik menertibkan dengan tindakan sosialisasi yang bersahabat dengan masyarakat,” katanya.
Foto: Basith Subastian/CNNIndonesia
INFOGRAFIS: Fakta-fakta Megathrust, Teror dari Lautan RI
|
(tim/dmi)
[Gambas:Video CNN]
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA