Jakarta, CNN Indonesia —
Jumlah kebutuhan air di DKI tak sebanding dengan debit air yang tersedia di wilayah tersebut. Pemulihan lahan yang tadinya tempat air pun didorong.
Peneliti Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Irfan Budi Pramono memaparkan kebutuhan air di Jakarta mencapai sekitar 30.000 liter per detik. Sementara, jumlah debit air yang tersedia di bawah 20.000 liter per detik.
“Pada 2028 diprakirakan, kebutuhan air, mencapai 40.000 liter per detik, bahkan Sampai saat ini 2033, kebutuhan air Pernah terjadi di atas 45.000 liter per detik. Sedangkan kita lihat ketersediaan air relatif di sekitar 18.000 per detik,” kata Ia, dalam diskusi daring, Selasa (23/7), dikutip dari Antara.
Irfan Bahkan mengungkapkan kebutuhan air di Jakarta meningkat sekitar 3,3 persen setiap tahunnya.
Pemicunya Merupakan peningkatan nilai konversi air menjadi uap melalui permukaan tanah dan tanaman atau evapotranspirasi, perilaku manusia, dan pertumbuhan populasi.
Sementara, kata Ia, pemanasan global memicu krisis air.
“Pergantian Iklim menyebabkan perubahan pola hujan menjadi berintensitas tinggi dalam waktu yang singkat, yang mengakibatkan perubahan suhu, Serta mengakibatkan masalah pada sumber daya air,” ujar Irfan.
Tidak hanya di DKI, Irfan mengungkapkan hal yang sama Bahkan terjadi di Sebanyaknya wilayah lain di Indonesia dengan sungai-sungai yang cenderung mengalami penurunan debit air dari tahun ke tahun.
Contohnya, Sungai Ciujung di Banten-Jabar; Sungai Cikapundung, Sungai Cimanuk, dan Sungai Citanduy di Jabar; Sungai Bengawan Solo di Jateng-Timur, serta Sungai Brantas di Jatim.
“Waspada air kita semakin lama semakin berkurang, Mungkin sekali bom waktu kalau tidak diantisipasi bagaimana mempertahankan sumber daya air tersebut,” cetus Irfan.
Karena itu, BRIN tengah melakukan studi Watershed Health Assessment System (WHAS) guna menganalisis terkait kesehatan sumber daya air di suatu wilayah, melalui berbagai indikator.
Dikenal sebagai, hidrologi, tanah, dan sosioekonomi yang salah satunya Pernah terjadi dilakukan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Hulu di Jabar.
Studi tersebut, kata Ia, Pernah terjadi menemukan Sebanyaknya masalah Dalang kurang baiknya kualitas air di daerah tersebut, untuk kemudian dilakukan berbagai solusi berbasis alam seperti rehabilitasi hutan dan lahan.
Ada pula pembuatan kolam retensi dan resapan air, menghindari pelurusan sungai, serta penerapan konservasi air pada berbagai penggunaan lahan.
“Alam ini sebetulnya diciptakan teratur, ada rawa dan bentuk lainnya. Manusia cenderung mengubah kondisi alam sesuai keinginannya, seperti di Jakarta ada Rawamangun dan rawa lainnya yang dikeringkan buat perumahan, sehingga Bencana Banjir karena air berasal dari situ,” cetus Ia.
“Kalau dikembalikan fungsinya itu bagus, supaya tidak Bencana Banjir di hulu dan bisa menyaring air yang tercemar dengan tanaman yang ada,” tandas Irfan.
(Antara/arh)
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA